Kamis, 07 April 2011

TUGAS ke 16 "TRAUMA PADA GINJAL"

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Trauma saluran kemih sering tak terdiagnosa atau terlambat terdiagnosa karena perhatian penolong sering tersita oleh jejas-jejas ada di tubuh dan anggota gerak saja, kelambatan ini dapat menimbulkan komplikasi yang berat seperti perdarahan hebat dan peritonitis, oleh karena itu pada setiap kecelakaan trauma saluran kemih harus dicurigai sampai dibuktikan tidak ada.
Trauma saluran kemih sering tidak hanya mengenai satu organ saja, sehingga sebaiknya seluruh sistem saluran kemih selalu ditangani sebagai satu kesatuan. Juga harus diingat bahwa keadaan umum dan tanda-tanda vital harus selalu diperbaiki/dipertahankan, sebelum melangkah ke pengobatan yang lebih spesifik.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan trauma system perkemihan?
2.      Bagaimana trauma pada organ-organ system perkemihan?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui pengertian dari trauma system perkemihan
2.      Mengetahui trauma pada organ-organ system perkemihan

D.    Sistematika Penulisan
Penulisan makalah ini terdiri dari 3 BAB yaitu, BAB I yang berisi Pendahuluan, BAB II yang berisi Kajian Teori, BAB III Kesimpulan dan Saran.


BAB II
KAJIAN TEORI

A.    Pengertian Trauma Sistem Perkemihan
Saluran kemih (termasuk ginjal, ureter, kandung kemih dan uretra) dapat mengalami trauma karena luka tembus (tusuk), trauma tumpul, terapi penyinaran maupun pembedahan. Gejala yang paling banyak ditemukan adalah terdapatnya darah di urin (hematuria), berkurangnya proses berkemih dan nyeri. Beberapa trauma dapat menyebabkan nyeri tumpul, pembengkakan, memar, dan jika cukup berat, dapat menurunkan tekanan darah (syok).
Limbah metabolik harus disaring dari darah oleh ginjal dan dibuang melalui saluran kemih, karena itu setiap cedera yang mempengaruhi proses tersebut bisa berakibat fatal. Mencegah kerusakan menetap pada saluran kemih dan mencegah kematian tergantung kepada diagnosis dan pengobatan yang tepat.

B.     Trauma pada organ-organ system perkemihan
1.      Trauma ginjal


Trauma ginjal merupakan trauma pada sistem urologi yang paling sering terjadi. Kejadian penyakit ini sekitar 8-10% dengan trauma tumpul atau trauma abdominal. Pada banyak kasus, trauma ginjal selalu dibarengi dengan trauma organ penting lainnya. Pada trauma ginjal akan menimbulkan ruptur berupa perubahan organik pada jaringannya. Sekitar 85-90% trauma ginjal terjadi akibat trauma tumpul yang biasanya diakibatkan oleh kecelakaan lalulintas.
Trauma tumpul sering menyebabkan luka pada ginjal, misalnya karena kecelakaan kendaraan bermotor, terjatuh atau trauma pada saat berolah raga. Luka tusuk pada ginjal dapat karena tembakan atau tikaman. Kerusakan yang terjadi bervariasi. Cedera ringan menyebabkan hematuria yang hanya dapat diketahui dengan pemeriksaan mikroskopis, sedangkan cedera berat bisa menyebabkan hematuria yang tampak sebagai air kemih yang berwarna kemerahan.
Manifestasi Klinik  Trauma ginjal Pada rudapaksa tumpul dapat ditemukan jejas di daerah lumbal, sedangkan pada rudapksa tajam tampak luka. Pada palpasi di dapat nyeri tekan, ketegangan otot pinggang, sedangkan massa jarang teraba. Massa yang cepat meluas sering ditandai tanda kehilangan darah yang banyak merupakan tanda cedera vaskuler. Nyeri abdomen pada daerah pinggang atau perut bagian atas.Fraktur tulang iga terbawah sering menyertai cedera ginjal. Hematuria makroskopik atau mikroskopik merupakan tanda utama cedera saluran kemih.
Klasifikasi trauma ginjal bias dibagi menjadi:
. Klasifikasi trauma ginjal menurut Sargeant dan Marquadt yang dimodifikasi oleh Federle :
a)      Grade I Lesi meliputi :
• Kontusi ginjal
• Minor laserasi korteks dan medulla tanpa gangguan pada sistem pelviocalices
• Hematom minor dari subcapsular atau perinefron (kadang kadang)
 75 – 80 % dari
à keseluruhan trauma ginjal
b)      Grade II Lesi meliputi:
• Laserasi parenkim yang berhubungan dengan tubulus kolektivus sehingga terjadi extravasasi urine
• Sering terjadi hematom perinefron
 Luka yang terjadi biasanya dalam dan meluas sampai ke medulla  10 – 15 % dari keseluruhan trauma ginjal
c)      Grade III Lesi meliputi:
• Ginjal yang hancur
• Trauma pada vaskularisasi pedikel ginjal  5 % dari keseluruhan trauma ginjal
d)     Grade IV Meliputi  lesi yang jarang terjadi yaitu:
• Avulsi pada ureteropelvic junction
• Laserasi dari pelvis renal

Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan adalah urinalisis. Pada pemeriksaan ini diperhatikan kekeruhan, warna, pH urin, protein, glukosa dan sel-sel. Pemeriksaan ini juga menyediakan secara langsung informasi mengenai pasien yang mengalami laserasi, meskipun data yang didapatkan harus dipandang secara rasional. Jika hematuria tidak ada, maka dapat disarankan pemeriksaan mikroskopik. Meskipun secara umum terdapat derajat hematuria yang dihubungkan dengan trauma traktus urinarius, tetapi telah dilaporkan juga kalau pada trauma (ruptur) ginjal dapat juga tidak disertai hematuria. Akan tetapi harus diingat kalau kepercayaan dari pemeriksaan urinalisis sebagai modalitas untuk mendiagnosis trauma ginjal masih didapatkan kesulitan.
Pada pemeriksaan radiologis dapat ditemukan :
a) Grade I
• Hematom minor di perinephric , pada IVP, dapat memperluhatkan gambaran ginjal yang abnomal
• Kontusi dapat terlihat sebagai massa yang normal ataupun tidak
• Laserasi minor korteks ginjal dapat dikenali sebagai dfek linear pada parenkim atau terlihat mirip dengan kontusi ginjal
• Yang lebih penting, pencitraan IVP pada pasien trauma ginjal grade I dapat menunjukkan gambaran ginjal normal. Hal ini tidak terlalu menimbulkan masalah karena penderit grade I memang tidak memerlukan tindakan operasi .
• Pada CT Scan, daerah yang mengalami kontusi terlihat seperti massa cairan diantara parenkim ginjal

b) Grade II
• Pada IVP dapat terlihat extravasasi kontras dari daerah yang mengalami laserasi
• Extravasasi tersebut bisa hanya terbatas pada sinus renalis atau meluas sampai ke daerah perinefron atau bahkan sampai ke anterior atau posterior paranefron.
• Yang khas adalah, batas ;uar ginjal terlihat kabur atau lebih lebar.
• Dengan pemeriksaan CT Scan , fraktur parenkim ginjal dapat terlihats
• Akumulasi masif dari kontras, terutama pada ½ medial daerah perinefron, dengan parenkim ginjal yang masih intak dan nonvisualized ureter, merupakan duggan kuat terjadinya avulsi ureteropelvic junction

c) Grade III
• Secara klinis pasien dalam kadaan yang tidak stabil. Kdang kadang dapat terjadi shock dan sering teraba massa pada daerah flank.dapt diertai dengan hematuria.
• Bila pasien sudah cukup stabil, dapat dilakukan pemeriksaan IVP, dimana terlihat gangguan fungsi ekskresi baik parsial maupun total
• Ada 2 tipe lesi pada pelvis renalis yaitu trombosis A.Renalis dan avulsi A. Renalis. Angiografi dapat memperlihtkan gambaran oklusi A.Renalis.
• Viabilitas dari fragmen ginjal dapat dilihat secara angiografi. Arteriografi memperlihatkan 2 fragmen ginjal yang terpisah cukup jauh.fragmen yang viabel akan terlihat homogen karena masih mendapat perfusi cukup baik. Fragmen diantaranya berarti merupaka fragmen yang sudah tidak viable lagi.

d) Grade IV
• Grade IV meliputi avulsi dari ureteropelvic junction.
• Baik IVP maupun CT Scan memeperlihatkan adanya akumulasi kontras pada derah perinefron tanpa pengisian ureter.



Sebagai kesimpulan, sampai sekarang belum ada pembatasan yang jelas kapan seorang penderita yang diduga trauma ginjal memerlukan IVP atau CT Scan sebagai pemeriksaan penunjangnya. Keputusan tersebut harus didasarkan kepada pemeriksaan manakah yang lebih tersedia. CT San biasanya diambil sebagai pemeriksaan penunjang pertama pada psien yang mengalami trauma multiple organ intra abdomen, dan pasien yang diduga trauma ginjal Grade III atau IV.  CT Scan berfungsi sebagai pemeriksaan kedua setelah IVP pada pasien yang pada IVP memperlihtkan gambaran kerusakan luas parenkim ginjal dan pasien yang keadaan umumnya menurun.
.

2.      Trauma ureter



Sebagian besar trauma ureter (saluran dari ginjal yang menuju ke kandung kemih) terjadi selama pembedahan organ panggul atau perut, seperti histerektomi, reseksi kolon atau uteroskopi. Seringkali terjadi kebocoran air kemih dari luka yang terbentuk atau berkurangnya produksi air kemih.
Gejala biasanya tidak spesifik dan bisa timbul demam atau nyeri.  Pada umumnya tanda dan gejala klinik umumnya tidak spesifik yaitu :
- Hematuria menunjukkan cedera pada saluran kemih.
- Bila terjadi ekstravasasi urin dapat timbul urinom pada pinggang atau abdomen, fistel uretero-kutan melalui luka atau tanda rangsang peritoneum bils urin masuk ke rongga intraperitoneal.
- Pada cedera ureter bilateral ditemukan anuria.
Penyebab trauma ureter diantaranya luka tembak atau tusuk, ruda paksa ureter disebabkan oleh ruda paksa tajam atau tumpul dari luar maupun iatrogenik terutama pada pembedahan rektum, uterus, pembuluh darah panggul atau tindakan endoskopik. Penyebab lain trauma ureter adalah luka tembus, biasanya karena luka tembak. Jarang terjadi trauma ureter akibat pukulan maupun luka tumpul.
Pemeriksaan diagnostik yang biasanya dilakukan adalah urografi intravena, CT scan dan urografi retrograd. Jika trauma ureter terjadi akibat pembedahan, maka dilakukan pembedahan lainnya untuk memperbaiki ureter.
Ureter bisa disambungkan kembali ke tempat asalnya atau di bagian kandung kemih yang lainnya.Pada trauma yang tidak terlalu berat, dipasang kateter ke dalam ureter dan dibiarkan selama 2-6 minggu sehingga tidak perlu dilakukan pembedahan. Pengobatan terbaik untuk trauma ureter akibat luka tembak atau luka tusuk adalah pembedahan.
3.      Trauma kandung kemih
Trauma benturan pada panggul yang menyebabkan patah tulang (fraktur) seringkali terjadi pada kecelakaan sepeda motor dan bisa menyebabkan robekan pada kandung kemih. Luka tembus, biasanya akibat tembakan, juga bisa mencederai kandung kemih.
Gejala utama adalah adanya darah dalam air kemih atau kesulitan untuk berkemih. Rasa sakit di area panggul dan perut bagian bawah. Sering buang air kecil atau sukar menahan keinginan berkemih (ini terjadi jika bagian terbawah kandung kemih mengalami cedera).
Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan sistografi.  Robekan kecil (laserasi) bisa diatasi dengan memasukkan kateter ke dalam uretra untuk mengeluarkan air kemih selama 7-10 hari dan kandung kemih akan membaik dengan sendirinya. Untuk luka yang lebih berat, biasanya dilakukan pembedahan untuk menentukan luasnya cedera dan untuk memperbaiki setiap robekan. Selanjutnya air kemih dibuang dari kandung kemih dengan menggunakan 2 kateter, 1 terpasang melalui uretra (kateter trans-uretra) dan yang lainnya terpasang langsung ke dalam kandung kemih melalui perut bagian bawah (kateter suprapubik).
Kateter tersebut dipasang selama 7-10 hari atau diangkat setelah kandung kemih mengalami penyembuhan yang sempurna.
4.      Trauma uretra
Penyebab utama dari trauma uretra adalah patah tulang panggul dan karena kedua kaki mengangkang (pada pria). Prosedur pembedahan pada uretra atau alat yang dimasukkan ke dalam uretra juga bisa melukai uretra, tetapi lukanya relatif ringan. Gejalanya adalah ditemukannya darah di ujung penis, hematuria dan gangguan berkemih.
Kadang air kemih merembes ke dalam jaringan di dinding perut, kantung zakar atau perineum (daerah antara anus dan vulva atau kantung zakar).
Penyempitan ureter (striktur) di daerah yang terkena biasanya merupakan komplikasi yang bisa terjadi di kemudian hari. Hal ini bisa menyebabkan impotensi akibat kerusakan arteri dan saraf penis. Diagnosis ditegakkan berdasarkan uretrogram retrograd. Pengobatan untuk memar ringan adalah memasukkan kateter melalui uretra ke dalam kandung kemih selama beberapa hari untuk mengeluarkan air kemih dan uretra akan membaik dengan sendirinya.
Untuk cedera lainnya, pengeluaran air kemih dari uretra dilakukan dengan cara memasang kateter langsung ke dalam kandung kemih. Untuk striktur uretra dilakukan perbaikan melalui pembedahan.

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
  1. KESIMPULAN
Trauma pada system perkemihan adalah kejadian dimana saluran kemih mengalami gangguan bukan karena pengaruh dari dalam tubuh tetapi adanya gangguan dari luar. Saluran kemih (termasuk ginjal, ureter, kandung kemih dan uretra) dapat mengalami trauma karena luka tembus (tusuk), trauma tumpul, terapi penyinaran maupun pembedahan. Gejala yang paling banyak ditemukan adalah terdapatnya darah di urin (hematuria), berkurangnya proses berkemih dan nyeri. Beberapa trauma dapat menyebabkan nyeri tumpul, pembengkakan, memar, dan jika cukup berat, dapat menurunkan tekanan darah (syok).
Jika kita membicarakan mengenai system perkemihan, di dalamnya terdapat beberapa organ yang kemungkinan dapat terkena trauma. Dantaranya adlah ginjal, ureter. Kendung kemih, dab uretra.
  1. SARAN
Trauma pada system perkemihan sanagt fatal akibatnya bagi kesehatan tubuh. Hal ini tidak bisa ditindaklanjuti sembarangan. Diperlukan penangan khusus dan serius agar tidak terjadi komplikasi yang lebih parah lagi. Bahkan sampai penangannya memerlukan pembedahan. Untuk itu agar tidak terjadi trauma system perkemihan dapat tertangani dengan baik maka sebaiknya kita mempercayakan kepada tim medis yang sudah berpengalaman dan mengerti mengenai penanganan masalah trauma system perkemihan tersebut.


DAFTAR PUSTAKA

http://minakomoon-minakoflow.blogspot.com/2010/04/trauma-ginjal.html
http://indonesiaindonesia.com/f/103939/trauma-saluran-kemih/
http://fikar-ulfianperawat.blogspot.com
http://www.conectique.com

Oleh : Santi Sri Rahayu
TIngkat IIA
05200ID09033
AKPER PEMDA GARUT


Tugas ke 15 "HEMODIALISA"


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Hemodialisa berasal dari kata hemo=darah,dan dialisa=pemisahan atau filtrasi. Pada prinsipnya hemodialisa menempatkan darah berdampingan dengan cairan dialisat atau pencuci yang dipisahkan oleh suatu membran atau selaput semi permeabel. Membran ini dapat dilalui oleh air dan zat tertentu atau zat sampah. Proses ini disebut dialysis yaitu proses berpindahnya air atau zat, bahan melalui membran semi permeabel ( Pardede, 1996 ).
Terapi hemodialisa adalah suatu teknologi tinggi sebagai terapi pengganti untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu dari peredaran darah manusia seperti air, natrium, kalium, hidrogen, urea, kreatinin, asam urat, dan zat-zat lain melalui membran semi permeabel sebagai pemisah darah dan cairan dialisat pada ginjal buatan dimana terjadi proses difusi, osmosis dan ultra filtrasi (Setyawan, 2001).
B.     Tujuan
Makalah ini dibuat bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas matakuliah KMB sistim Perkemihan dan makalah ini membahas tentang Hemodialisa. Makalah ini dibuat agar kita sebagai mahasiswa lmengerti tentang arti dan tujuan dari hemodialisa
C.    Rumusan Masalah
1.      Apakah yang dimaksud dengan hemodialisa
2.      Bagaimana cara kerjanya
3.      Apa tujuannya






BAB II
KAJIAN TEORI

A.    Pengertian Hemodialisa
Menurut Price dan Wilson (1995) dialisa adalah suatu proses dimana solute dan air mengalami difusi secara pasif melalui suatu membran berpori dari kompartemen cair menuju kompartemen lainnya. Hemodialisa dan dialisa peritoneal merupakan dua tehnik utama yang digunakan dalam dialisa. Prinsip dasar kedua teknik tersebut sama yaitu difusi solute dan air dari plasma ke larutan dialisa sebagai respon terhadap perbedaan konsentrasi atau tekanan tertentu.
Sedangkan menurut Tisher dan Wilcox (1997) hemodialisa didefinisikan sebagai pergerakan larutan dan air dari darah pasien melewati membran semipermeabel (dializer) ke dalam dialisat. Dializer juga dapat dipergunakan untuk memindahkan sebagian besar volume cairan. Pemindahan ini dilakukan melalui ultrafiltrasi dimana tekanan hidrostatik menyebabkan aliran yang besar dari air plasma (dengan perbandingan sedikit larutan) melalui membran. Dengan memperbesar jalan masuk pada vaskuler, antikoagulansi dan produksi dializer yang dapat dipercaya dan efisien, hemodialisa telah menjadi metode yang dominan dalam pengobatan gagal ginjal akut dan kronik di Amerika Serikat (Tisher & Wilcox, 1997).
Hemodialisa memerlukan sebuah mesin dialisa dan sebuah filter khusus yang dinamakan dializer (suatu membran semipermeabel) yang digunakan untuk membersihkan darah, darah dikeluarkan dari tubuh penderita dan beredar dalam sebuah mesin diluar tubuh. Hemodialisa memerlukan jalan masuk ke aliran darah, maka dibuat suatu hubungan buatan antara arteri dan vena (fistula arteriovenosa) melalui pembedahan (NKF, 2006).

B.     Indikasi
Price dan Wilson (1995) menerangkan bahwa tidak ada petunjuk yang jelas berdasarkan kadar kreatinin darah untuk menentukan kapan pengobatan harus dimulai. Kebanyakan ahli ginjal mengambil keputusan berdasarkan kesehatan penderita yang terus diikuti dengan cermat sebagai penderita rawat jalan. Pengobatan biasanya dimulai apabila penderita sudah tidak sanggup lagi bekerja purna waktu, menderita neuropati perifer atau memperlihatkan gejala klinis lainnya. Pengobatan biasanya juga dapat dimulai jika kadar kreatinin serum diatas 6 mg/100 ml pada pria , 4 mg/100 ml pada wanita dan glomeluro filtration rate (GFR) kurang dari 4 ml/menit. Penderita tidak boleh dibiarkan terus menerus berbaring ditempat tidur atau sakit berat sampai kegiatan sehari-hari tidak dilakukan lagi.
Menurut konsensus Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) (2003) secara ideal semua pasien dengan Laju Filtrasi Goal (LFG) kurang dari 15 mL/menit, LFG kurang dari 10 mL/menit dengan gejala uremia/malnutrisi dan LFG kurang dari 5 mL/menit walaupun tanpa gejala dapat menjalani dialisis. Selain indikasi tersebut juga disebutkan adanya indikasi khusus yaitu apabila terdapat komplikasi akut seperti oedem paru, hiperkalemia, asidosis metabolik berulang, dan nefropatik diabetik.
Kemudian Thiser dan Wilcox (1997) menyebutkan bahwa hemodialisa biasanya dimulai ketika bersihan kreatinin menurun dibawah 10 mL/menit, ini sebanding dengan kadar kreatinin serum 8–10 mg/dL. Pasien yang terdapat gejala-gejala uremia dan secara mental dapat membahayakan dirinya juga dianjurkan dilakukan hemodialisa. Selanjutnya Thiser dan Wilcox (1997) juga menyebutkan bahwa indikasi relatif dari hemodialisa adalah azotemia simtomatis berupa ensefalopati, dan toksin yang dapat didialisis. Sedangkan indikasi khusus adalah perikarditis uremia, hiperkalemia, kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik (oedem pulmonum), dan asidosis yang tidak dapat diatasi.

C.    Kontra Indikasi
Menurut Thiser dan Wilcox (1997) kontra indikasi dari hemodialisa adalah hipotensi yang tidak responsif terhadap presor, penyakit stadium terminal, dan sindrom otak organik. Sedangkan menurut PERNEFRI (2003) kontra indikasi dari hemodialisa adalah tidak mungkin didapatkan akses vaskuler pada hemodialisa, akses vaskuler sulit, instabilitas hemodinamik dan koagulasi. Kontra indikasi hemodialisa yang lain diantaranya adalah penyakit alzheimer, demensia multi infark, sindrom hepatorenal, sirosis hati lanjut dengan ensefalopati dan keganasan lanjut (PERNEFRI, 2003).

D.    Tujuan
Menurut Havens dan Terra (2005) tujuan dari pengobatan hemodialisa antara lain :
1) Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi, yaitu membuang sisa-sisa metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa metabolisme yang lain.
2) Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang seharusnya dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat.
3) Meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi ginjal.
4) Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan yang lain.

E.     Proses Hemodialisa
Suatu mesin hemodialisa yang digunakan untuk tindakan hemodialisa berfungsi mempersiapkan cairan dialisa (dialisat), mengalirkan dialisat dan aliran darah melewati suatu membran semipermeabel, dan memantau fungsinya termasuk dialisat dan sirkuit darah korporeal. Pemberian heparin melengkapi antikoagulasi sistemik. Darah dan dialisat dialirkan pada sisi yang berlawanan untuk memperoleh efisiensi maksimal dari pemindahan larutan. Komposisi dialisat, karakteristik dan ukuran membran dalam alat dialisa, dan kecepatan aliran darah dan larutan mempengaruhi pemindahan larutan (Tisher & Wilcox, 1997).
Dalam proses hemodialisa diperlukan suatu mesin hemodialisa dan suatu saringan sebagai ginjal tiruan yang disebut dializer, yang digunakan untuk menyaring dan membersihkan darah dari ureum, kreatinin dan zat-zat sisa metabolisme yang tidak diperlukan oleh tubuh. Untuk melaksanakan hemodialisa diperlukan akses vaskuler sebagai tempat suplai dari darah yang akan masuk ke dalam mesin hemodialisa (NKF, 2006).
Suatu mesin ginjal buatan atau hemodializer terdiri dari membran semipermeabel yang terdiri dari dua bagian, bagian untuk darah dan bagian lain untuk dialisat. Darah mengalir dari arah yang berlawanan dengan arah dialisat ataupun dalam arah yang sama dengan arah aliran darah. Dializer merupakan sebuah hollow fiber atau capillary dializer yang terdiri dari ribuan serabut kapiler halus yang tersusun pararel. Darah mengalir melalui bagian tengah tabung-tabung kecil ini, dan dialisat membasahi bagian luarnya. Dializer ini sangat kecil dan kompak karena memiliki permukaan yang luas akibat adanya banyak tabung kapiler (Price & Wilson, 1995).
Menurut Corwin (2000) hemodialisa adalah dialisa yang dilakukan di luar tubuh. Selama hemodialisa darah dikeluarkan dari tubuh melalui sebuah kateter masuk ke dalam sebuah mesin yang dihubungkan dengan sebuah membran semipermeabel (dializer) yang terdiri dari dua ruangan. Satu ruangan dialirkan darah dan ruangan yang lain dialirkan dialisat, sehingga keduanya terjadi difusi. Setelah darah selesai dilakukan pembersihan oleh dializer darah dikembalikan ke dalam tubuh melalui arterio venosa shunt (AV-shunt).
Selanjutnya Price dan Wilson (1995) juga menyebutkan bahwa suatu sistem dialisa terdiri dari dua sirkuit, satu untuk darah dan satu lagi untuk dialisat. Darah mengalir dari pasien melalui tabung plastik (jalur arteri/blood line), melalui dializer hollow fiber dan kembali ke pasien melalui jalur vena. Dialisat membentuk saluran kedua. Air kran difiltrasi dan dihangatkan sampai sesuai dengan suhu tubuh, kemudian dicampur dengan konsentrat dengan perantaraan pompa pengatur, sehingga terbentuk dialisat atau bak cairan dialisa. Dialisat kemudian dimasukan ke dalam dializer, dimana cairan akan mengalir di luar serabut berongga sebelum keluar melalui drainase. Keseimbangan antara darah dan dialisat terjadi sepanjang membran semipermeabel dari hemodializer melalui proses difusi, osmosis, dan ultrafiltrasi.
Kemudian menurut Price dan Wilson (1995) komposisi dialisat diatur sedemikian rupa sehingga mendekati komposisi ion darah normal, dan sedikit dimodifikasi agar dapat memperbaiki gangguan cairan dan elektrolit yang sering menyertai gagal ginjal. Unsur-unsur yang umum terdiri dari Na+, K+, Ca++, Mg++, Cl- , asetat dan glukosa. Urea, kreatinin, asam urat dan fosfat dapat berdifusi dengan mudah dari darah ke dalam dialisat karena unsur-unsur ini tidak terdapat dalam dialisat. Natrium asetat yang lebih tinggi konsentrasinya dalam dialisat, akan berdifusi ke dalam darah. Tujuan menambahkan asetat adalah untuk mengoreksi asidosis penderita uremia. Asetat dimetabolisme oleh tubuh pasien menjadi bikarbonat. Glukosa dalam konsentrasi yang rendah ditambahkan ke dalam dialisat untuk mencegah difusi glukosa ke dalam dialisat yang dapat menyebabkan kehilangan kalori dan hipoglikemia. Pada hemodialisa tidak dibutuhkan glukosa dalam konsentrasi yang tinggi, karena pembuangan cairan dapat dicapai dengan membuat perbedaan tekanan hidrostatik antara darah dengan dialisat.
Ultrafiltrasi terutama dicapai dengan membuat perbedaan tekanan hidrostatik antara darah dengan dialisat. Perbedaaan tekanan hidrostatik dapat dicapai dengan meningkatkan tekanan positif di dalam kompartemen darah dializer yaitu dengan meningkatkan resistensi terhadap aliran vena, atau dengan menimbulkan efek vakum dalam ruang dialisat dengan memainkan pengatur tekanan negatif. Perbedaaan tekanan hidrostatik diantara membran dialisa juga meningkatkan kecepatan difusi solut. Sirkuit darah pada sistem dialisa dilengkapi dengan larutan garam atau NaCl 0,9 %, sebelum dihubungkan dengan sirkulasi penderita. Tekanan darah pasien mungkin cukup untuk mengalirkan darah melalui sirkuit ekstrakorporeal (di luar tubuh), atau mungkin juga memerlukan pompa darah untuk membantu aliran dengan quick blood (QB) (sekitar 200 sampai 400 ml/menit) merupakan aliran kecepatan yang baik. Heparin secara terus-menerus dimasukkan pada jalur arteri melalui infus lambat untuk mencegah pembekuan darah. Perangkap bekuan darah atau gelembung udara dalam jalur vena akan menghalangi udara atau bekuan darah kembali ke dalam aliran darah pasien. Untuk menjamin keamanan pasien, maka hemodializer modern dilengkapi dengan monitor-monitor yang memiliki alarm untuk berbagai parameter (Price & Wilson, 1995).
Menurut PERNEFRI (2003) waktu atau lamanya hemodialisa disesuaikan dengan kebutuhan individu. Tiap hemodialisa dilakukan 4–5 jam dengan frekuensi 2 kali seminggu. Hemodialisa idealnya dilakukan 10–15 jam/minggu dengan QB 200–300 mL/menit. Sedangkan menurut Corwin (2000) hemodialisa memerlukan waktu 3–5 jam dan dilakukan 3 kali seminggu. Pada akhir interval 2–3 hari diantara hemodialisa, keseimbangan garam, air, dan pH sudah tidak normal lagi. Hemodialisa ikut berperan menyebabkan anemia karena sebagian sel darah merah rusak dalam proses hemodialisa.
Price dan Wilson (1995) menjelaskan bahwa dialisat pada suhu tubuh akan meningkatkan kecepatan difusi, tetapi suhu yang terlalu tinggi menyebabkan hemolisis sel-sel darah merah sehingga dapat menyebabkan pasien meninggal. Robekan pada membran dializer yang mengakibatkan kebocoran kecil atau masif dapat dideteksi oleh fotosel pada aliran keluar dialisat. Hemodialisa rumatan biasanya dilakukan tiga kali seminggu, dan lama pengobatan berkisar dari 4 sampai 6 jam, tergantung dari jenis sistem dialisa yang digunakan dan keadaan pasien.

Skema proses hemodialisa


(National Kidney Foundation, 2001)



F.     Komplikasi Hemodialisa
Menurut Tisher dan Wilcox (1997) serta Havens dan Terra (2005) selama tindakan hemodialisa sering sekali ditemukan komplikasi yang terjadi, antara lain:
1)      Kram otot
Kram otot pada umumnya terjadi pada separuh waktu berjalannya hemodialisa sampai mendekati waktu berakhirnya hemodialisa. Kram otot seringkali terjadi pada ultrafiltrasi (penarikan cairan) yang cepat dengan volume yang tinggi.
2)      Hipotensi
Terjadinya hipotensi dimungkinkan karena pemakaian dialisat asetat, rendahnya dialisat natrium, penyakit jantung aterosklerotik, neuropati otonomik, dan kelebihan tambahan berat cairan.
3)      Aritmia
Hipoksia, hipotensi, penghentian obat antiaritmia selama dialisa, penurunan kalsium, magnesium, kalium, dan bikarbonat serum yang cepat berpengaruh terhadap aritmia pada pasien hemodialisa.
4)      Sindrom ketidakseimbangan dialisa
Sindrom ketidakseimbangan dialisa dipercaya secara primer dapat diakibatkan dari osmol-osmol lain dari otak dan bersihan urea yang kurang cepat dibandingkan dari darah, yang mengakibatkan suatu gradien osmotik diantara kompartemen-kompartemen ini. Gradien osmotik ini menyebabkan perpindahan air ke dalam otak yang menyebabkan oedem serebri. Sindrom ini tidak lazim dan biasanya terjadi pada pasien yang menjalani hemodialisa pertama dengan azotemia berat.
5)      Hipoksemia
Hipoksemia selama hemodialisa merupakan hal penting yang perlu dimonitor pada pasien yang mengalami gangguan fungsi kardiopulmonar.


6)      Perdarahan
Uremia menyebabkan ganguan fungsi trombosit. Fungsi trombosit dapat dinilai dengan mengukur waktu perdarahan. Penggunaan heparin selama hemodialisa juga merupakan faktor risiko terjadinya perdarahan.
7)      Ganguan pencernaan
Gangguan pencernaan yang sering terjadi adalah mual dan muntah yang disebabkan karena hipoglikemia. Gangguan pencernaan sering disertai dengan sakit kepala.
Infeksi atau peradangan bisa terjadi pada akses vaskuler.
9)   Pembekuan darah bisa disebabkan karena dosis pemberian heparinyang tidak adekuat ataupun kecepatan putaran darah yang lambat.







BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A.    Kesimpulan
Hemodialisa memerlukan sebuah mesin dialisa dan sebuah filter khusus yang dinamakan dializer (suatu membran semipermeabel) yang digunakan untuk membersihkan darah, darah dikeluarkan dari tubuh penderita dan beredar dalam sebuah mesin diluar tubuh. Hemodialisa memerlukan jalan masuk ke aliran darah, maka dibuat suatu hubungan buatan antara arteri dan vena (fistula arteriovenosa) melalui pembedahan (NKF, 2006).
Menurut Corwin (2000) hemodialisa adalah dialisa yang dilakukan di luar tubuh. Selama hemodialisa darah dikeluarkan dari tubuh melalui sebuah kateter masuk ke dalam sebuah mesin yang dihubungkan dengan sebuah membran semipermeabel (dializer) yang terdiri dari dua ruangan. Satu ruangan dialirkan darah dan ruangan yang lain dialirkan dialisat, sehingga keduanya terjadi difusi. Setelah darah selesai dilakukan pembersihan oleh dializer darah dikembalikan ke dalam tubuh melalui arterio venosa shunt (AV-shunt).

B.     Saran
Untuk melaksanakan hemodialisa diperlukan akses vaskuler sebagai tempat suplai dari darah yang akan masuk ke dalam mesin hemodialisa (NKF, 2006). Pencegahan untuk kompliksi pada hemodialisa perlu dilakukan agar terhindar dari kesalahan pada proses hemodialisa.

DAFTAR PUSTAKA
Beti Budiwangsih, Persiapan Tindakan Hemodialisis, RSUP Dr. Hasan Sadikin
 Eddy Harjadi S. Hemodialisis, RS. Dustira
 Enday Sukendar, Gagal Ginjal Kronik dalam Nefrologi Klinik Bandung Penerbit ITB. Edisi II, 1997
 Hendro Sujono Y., “Vascular access” untuk Hemodialisa
http://annurhospital.com/web/index.php?option=com_content&view=article&id=55&Itemid=84


Oleh : Yayu Kustini
Tingkat IIA
05200ID09039
AKPER PEMDA GARUT

tugas ke 14 "Anomali pada ginjal"

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Suatu bentuk anomali pada ginjal, horseshoe kidney, ialah  penggabungan kedua ginjal kanan dan kiri oleh bagian yang  disebut isthmus,melalui kedua pole (extremitas) atas atau  bawah. Yang terbanyak penyatuan kedua pole bawah, sedang-  kan kedua pole atas hanya sekitar 5 — 10% (3). Besamya  isthmus sangat bervariasi, kadang-kadang merupakan bagian  yang lengkap terdiri dari jaringan ginjal (parenchymatous  tissue), tetapi pada beberapa kasus, hanya merupakan bagian  kecil yang terdiri dari jaringan ikat (fibrous tissue) (1). Dari  hasilautopsi, anomali ini tidak jarang dijumpai, meliputi  1 : 600 sampai 1 : 800 dari seluruh kasus (3).  Letak kedua ginjal relatip lebih berdekatan dan lebih rendah dari biasa, 40% diantaranya mencapai ketinggian normal  3).
Kedua ginjal biasanya terdapat pada sisi yang berlainan,  di kanan kiri columna vertebralis, bisa juga keduanya terletak  pada satu sisi, dalam hal ini salah satu di antara kedua ginjal  tersebut terletak di atas lainnya (2).  Apabila horseshoe kidney ini dibentuk oleh hanya 2 buah ginjalmaka biasanya setiap ginjal mempunyai satu ureter,  tetapi bila 3 atau 4 ginjal, maka ureternya bisa kembar, salah  satu di antaranya mempunyai cabang penghubung ke pelvis  ginjal di sisi lain, atau satu ureter untuk dua ginjal, atau satu  pelvisdihubungkan dengan pelvis di seberangnya melalui  calyces yang berdekatan letaknya. Horseshoe kidney kembar  (doublehorseshoe kidney) sebenarnya adalah merupakan gabungan dari dua buah ginjal kembar (double kidneys) (6). Penderita anomali ini biasanya tanpa keluhan, tetapi bila timbul penyakit penyulit, bisa terjadi hydronephrose, recurrent pyelonephritis, haematuria dan batu ginjal (4). Keluhan  yang terjadi bisa berupa rasa mual dan sakit perut yang  disertaikekejangan (Rovsing syndrome). Kehamilan pada  penderita anomali ini 1/3 di antaranya mendapat kesulitan (3).  Dari gambaran radiologis didapati bahwasudut pyelogra-  phicyang dibentuk oleh kedua ginjal yang normal ialah 90  derajat sedangkan pada horseshoe kidney 20 derajat (6). Tindakan pembedahan untuk memisahkan kedua ginjal  mungkin sangat dibutuhkan apabila anomali ini menimbulkan penyulit, dengan cara memotong pada isthmusnya yang ter- diri dari jaringan ikat.



B.     Rumusan Masalah
1.      Apa anomali pada ginja itu?
2.      Apa saja anomali kongential?
3.      Sistem yang berpengaruh pada anomali ginjal?
4.      Apa tanda anomali pada ginjal?
C.    Tujuan Penulisan
1.    Untuk mengetahui anomali ginjal?
2.    Untuk mengetahui apa saja anomali kongential ?
3.    Untuk mengetahui system yang mempengaruhi anomali?
4.    Untuk mengetahui tanda anomali?
D.  Sistematika Penulisan
Makalah ini mterdiri dari 3 bab, Bab 1 Pendahuluan yang berisikan Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penulisan, dan sistematika Penulisan. Bab 2 Pembahasan. Bab 3 kesimpulan dan saran




BAB II
PEMBAHASAN

A.  Anomali Ginjal

Anomali pada ginjal,ialah penggabungan kedua ginjal kanan dan kiri oleh bagian yang disebut isthmus melalui kedua pole (extremitas) atas atau bawah. Yang terbanyak penyatuan kedua pole bawah, sedangkan kedua pole atas hanya sekitar 5 — 10% .Besarnya  isthmus sangat bervariasi, kadang-kadang merupakan bagian yang lengkap terdiri dari jaringan ginjal (parenchymatous tissue), tetapi pada beberapa kasus, hanya merupakan bagian kecil yang terdiri dari jaringan ikat (fibrous tissue) . Dari hasil autopsi, anomali ini tidak jarang dijumpai, meliputi 1 : 600 sampai 1 : 800 dari seluruh kasus.
Letak kedua  ginjal relatip lebih berdekatan dan lebih rendah dari biasa, 40% diantaranya mencapai ketinggian normal Kedua ginjal biasanya terdapat pada sisi yang berlainan, di kanan kiri columna vertebralis, bisa juga keduanya terletak pada satu sisi, dalam hal ini salah satu di antara kedua ginjal tersebut terletak di atas lainnya .Horseshoe kidney merupakan anomali yang tidak jarang di-  jumpai. Di dalam autopsi didapati rata-rata 1 di dalam 600 —  800 kasus. Pada umumnya penggabungan terjadi padapole bawah, akan tetapi pada + 10% kasus terjadi pada pole atas.
Pada laki-laki lebih sering terjadi dari pada wanita dengan perbandingan 2 : 1. Gejala-gejala klinis yang terjadi disebabkan oleh adanya teknan pada ureter oleh bagian yang menghubungkan kedua ginjal (isthmus), yangmengakibatkan terjadinya obstruksi alirankemih. Gejalanya bisa berupa haematuria dan kolik abdomen yang disebabkan hydronephrose, penyakit infeksi pada ginjal dan batu ginjal. Dilaporkan 2 kasus, seorang laki-laki bangsa Indonesia beru-sia 28 tahun dan seorang wanita bangsa Indonesia berusia 39 tahun, yang mempunyai horseshoe kidney. Kedua penderita mengalami haematuria dan nyeri pinggang sehabis melakukan kegiatan fisik yang berat. Gambaran radiologis memberi kesan bahwa isthmus pada penderita laki-laki terdiri dari jaringan ikat (fibrous tissue), sedangkan pada penderita wanita jaringan ginjal (parenchy- matous tissue).Walaupun demikian konfirmasi untuk ini sebaiknya dengan arteriografi.

B.     Anomali-anomali kongential yang sering terjadi pada system urinarius antara lain sebagai berikut :

1.    Ginjal polikistik yaitu adanya kista-kista di ginjal yang menyebabkan insufisiensi.
2.    Agenesis ginjal yaitu kegagalan pembentukan ginjal  dan dapat bersifat unilateral maupun bilateral.
3.    Duplikasi ureter parsial atau lengkap.
4.    Ureter ektopik, yaitu ureter yang ujungnya tidak bermuara ke kandung kemih melainkan organ-organ lain seperti uretra atau vagina.
5.    Ginjal pelvis, yaitu ginjal yang gagal naik ke rongga perut.
6.    Ginjal tapal kuda, yaitu ujung kaudal kedua ginjal  mengalami penyatuan
7.    Arteri renalis asesorius, yaitu menetapnya pembuluh-pembuluh darah embrional pada ginjal
8.    Fistula/kista/sinus urakus, yaitu fistula/kista/sinus yang terbentuk antara kandung kemih dan lumen allantois.
9.    Ekstrofi kandung kemih, yaitu mukosa kandung kemih yang terpajan ke udara luar.


C.     Sistem genitalis
a.    Pembentukan gonad, duktus genitalis, dan genital eksterna primitif (indiferen)
Gonad primitive dibentuk oleh rigi gonad yang merupakan hasil proliferasi epitel selom dan pemadatan mesenkim di bawahnya. Pada minggu ke-6 setelah pembuahan, sel-sel benih primordial datang dan mencapai gonad. Sel-sel benih primordial inilah yang akan menentukan apakah gonad indiferen primitif ini kelak berkembang menjadi testis( pada pria) atau ovarium (pada wanita).Duktus genitalis primitif terbentuk dari duktus mesonefros dan duktus paramesonefros.
Genital eksterna primitif terbentuk dari sel-sel mesenkim yang bermigrasi ke daerah kloaka pada  minggu ke-3, membentuk lipatan kloaka. Bagian kranial lipatan kloaka disebut tuberkulum genital (yang  nantinya akan berkembang menjadi klitoris pada wanita, atau phallus pada  pria). Selain itu lipatan kloaka terbagi dua menjadi lipatan uretra dan lipatan anus. Membran di antara lipatan uretra disebut membran urogenital, sedang membran di antara lipatan anus disebut membran analis.
b.      Pembentukan sistem genitalis pada pria
·         Pembentukan testis
Kromosom Y yang terdapat pada  embrio (pria) akan mengubah gonad primitif menjadi testis. Ciri khas dari pembentukan testis adalah perkembangan bagian medula yang lebih pesat dibandingkan dengan bagian korteks yang menghilang. Bagian medula akan berkembang menjadi tubulus seminiferus, sedangkan di bagian perifernya akan muncul tunika albuginea yang merupakan suatu jaringan ikat fibrosa. Selain itu terdapat sel Sertoli (berasal dari epitel permukaan kelenjar) dan sel Leydig (berasal dari rigi kelamin) pada  korda testis. Tubulus seminiferus akan terhubung ke duktus mesonefros melalui saluran duktus eferens.
Kemudian pada  akhir bulan ke-2 akan terjadi perubahan posisi testis menjadi lebih turun (mendekati posisi phallus/penis). Penyebab penurunan (desensus) testis ini masih belum jelas, namun diperkirakan perkembangan organ-organ abdomen yang begitu pesat akan mendorong turun testis.Pembentukan duktus genitalis
Duktus genitalis pada  pria terbentuk dari duktus mesonefros, sedangkan duktus paramesonefros menghilang. Duktus mesonefros akan berhubungan dengan tubulus seminiferus (testis) melalui duktus eferens, sedangkan bagian duktus mesonefros yang masih melekat di testis namun tidak membentuk hubungan dengan testis disebut epididimis. Bagian selanjutnya dari duktus mesonefros berbentuk panjang dandisebut duktus deferens yang berujung ke vesikulaseminalis. Daerah duktus lain di luar vesikula seminalis disebut duktus ejakulotorius.
·         Pembentukan genital eksternal
Pembentukan genital eksternal pria (phallus/penis) merupakan hasil pemanjangan tuberkulum genital di bawah pengaruh hormon androgen. Lipatan uretra akan menutup membentuk uretra pars kavernosa, sehingga bagian uretra harus memanjang hingga ke ujung penis dan keluar melalui orifisium uretra eksternum.

c.     Pembentukan sistem genitalis pada wanita

·      Pembentukan ovarium
Berbeda pada  pembentukan testis dari gonad primitif, pada  pembentukan ovarium akan terjadi perkembangan (penebalan) bagian korteks yang pesat membentuk korda korteks sedangkan bagian medulanya menghilang dan digantikan oleh medula ovarium. Pada  bulan ke-4 telah terdapat oogonia dan sel folikuler pada  ovarium. Selanjutnya ovarium akan mengalami perubahan posisi menjadi sedikit lebih turun (desensus) hingga terletak di bawah tepi pelvis sejati.
·           Pembentukan duktus genitalis dan vagina
Pada pembentukan duktus genitalis wanita, bagian yang berkembangmenjadi duktus adalah duktus paramesonefros, sedangkan duktus mesonefros akan menghilang. Tuba uterina terbentuk dari bagian kranial duktus paramesonefros, sedangkan bagian kaudalnya akan bertemu dengan duktus paramesonefros lain dari sisi ipsilateral, menyatu dan mengalami penebalan-penebalan sehingga terbentuklah korpus uteri dan serviks. Ujung padat duktus paramesonefros ini akan mengalami penojolan yang disebut bulbus sinovaginalis yang berproliferasi membentuk lempeng vagina. Pelebara pada  lempeng vagina akan membentuk forniks vagina yang terdapat lumen di tengahnya, kelak berkembang menjadi selaput dara (himen).
·                Pembentukan genital eksternal
Pada wanita, tuberkulum genital primitif akan sedikit memanjang membantuk klitoris, sedangkan lipatan uretra tetap terbuka membantuk labia minor. Tonjol kelamin membesar dan membentuk labia minor, sedang alur urogenital terbuka dan membentuk vestibulum.

·            Pembentukan duktus genitalis dan vagina
Pada pembentukan duktus genitalis wanita, bagian yang berkembangmenjadi duktus adalah duktus paramesonefros, sedangkan duktus mesonefros akan menghilang. Tuba uterina terbentuk dari bagian kranial duktus paramesonefros, sedangkan bagian kaudalnya akan bertemu dengan duktus paramesonefros lain dari sisi ipsilateral, menyatu dan mengalami penebalan-penebalan sehingga terbentuklah korpus uteri dan serviks. Ujung padat duktus paramesonefros ini akan mengalami penojolan yang disebut bulbus sinovaginalis yang berproliferasi membentuk lempeng vagina. Pelebaran pada  lempeng vagina akan membentuk forniks vagina yang terdapat lumen di tengahnya, kelak berkembang menjadi selaput dara (himen).
·                Pembentukan genital eksternal
Pada wanita, tuberkulum genital primitif akan sedikit memanjang membantuk klitoris, sedangkan lipatan uretra tetap terbuka membantuk labia minor. Tonjol kelamin membesar dan membentuk labia minor, sedang alur urogenital terbuka dan membentuk vestibulum.


D.    Tanda dan Gejala Anomali Ginjal

Penderita anomali ini biasanya tanpa keluhan, tetapi bila timbul penyakit penyulit, bisa terjadi hydronephrose, recurent pyelonephritis, haematuria dan batu ginjal Keluhan yang terjadi bisa berupa rasa mual dan sakit perut yang disertai kekejangan (Rovsing syndrome). Kehamilan pada penderita anomali ini 1/3 di antaranya mendapat kesulitan



BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN


A.    Kesimpulan
Horseshoe kidney merupakan anomali yang tidak jarang dijumpai. Di dalam autopsi didapati rata-rata 1 di dalam 600 — 800 kasus. Pada umumnya penggabungan terjadi padapole bawah, akan tetapi pada + 10% kasus terjadi pada pole atas. Pada laki-laki lebih sering terjadi dari pada wanita dengan perbandingan 2 : 1. Gejala-gejala klinis yang terjadi disebabkan oleh adanya tekanan pada ureter oleh bagian yang menghubungkan kedua ginjal (isthmus), yangmengakibatkan terjadinya obstruksi alirankemih
B.     Saran
Ginjal merupakan organ yang sangat penting bagi tubuh, dan jika terkena penyakit merupakan serangan yang sistemik. Oleh karena itu, sebagai perawat kita harus menjaga dan meningkatkan kualitas  hidup pasiennya. Dengan cara melaksanakan askep sesuai dengan kebutuhan pasien, khususnya pada anomali ginjal (urogenital). Kita juga harus memberikan saran kepada pasien agar hidup pola sehat.



DAFTAR PUSTAKA

Brass JC. Cunningham's Text-book of Anatomi 95h.ed. London,
New York, Chicago: Oxford Univ Press. 1951 : 736.
Cafey J. Pediatric X-Ray Diagnosis. 2nd.ed. Chicago: Year Book
Publ Inc. 6 — 8.
Faber M et al. Anomalies of the kidney and ureter. Clin Obst
Gynaec 21(3) 1978: 831 — 43.
http://anomali ginjal.com

Oleh : Saeful Hidayat
Tingkat IIA
AKPER PEMDA GARUT